Senin, 11 Juli 2011

DUA RASA TENTANG HUJAN



Seperti yang tersirat, semua yang menjadi dambaan hati yang sepi lagi sendiri ini adalah cinta. Cinta dengan semua keindahan yang tersaji dalam ribuan harum wangi bunga, menebar pesona warna pelangi dan jingga mentari senja. Dengan cinta, hujan yang turun dalam gerimis atau badai sekalipun menjadikan rindu-rindu itu tercipta. Semua yang ada membuatku mendamba akan kehadiran dirinya disisiku. Menikmati setiap tetes air yang jatuh, dalam peluk cium dan kehangatan yang indah.
Mengapa harus jatuh pada hujan? Semua kerinduan dan kebencian yang datang bersamaan. Kisah yang menjadi satu dalam cinta yang indah dan juga menyakitkan. Aku membenci datangnya, namun aku juga memaknai kehadirannya dalam keindahan rindu-rindu  cinta.
Aku ingat, aku ingat  ketika kamu berdiri di depan rumah saat hujan turun dengan derasnya, seiring dengan angin yang kencang berhembus. Aku ingat, saat itu kamu lama berdiri di depan pintu menunggu diriku. Sedangkan aku baru saja terlelap dalam tidur. Dan seketika aku terjaga mendengar teriakmu memanggil namaku, “Kiintaaaannnn….!!”
Aku segera beranjak dari tempat tidur, berhambur keluar menemuimu dalam hujan. Saat aku hendak membuka pintu, kau mencegahnya.
“Biar, biar ada sekat diantara kita dalam hujan ini” Itu ucapmu dengan suara gemetar menahan rasa dingin dalam tubuhmu. Aku tatap matamu lekat-lekat mencari-cari apa yang menjadi alasan atas kenekatanmu menerjang hujan.
 “A-ku mencintaimu, Kin. Aku mencintaimu!!” Kau ucapkan kata itu seolah tahu apa yang sedang aku cari dari kedua mata itu.
Aku melonjak kegirangan dalam bahagia yang tak terkira. Aku ingin bisa memeluk tubuhmu erat dalam hujan ini. Tapi kau menginginkan pagar ini menjadi batas di antara kita berdua. Lalu aku hanya bisa menggenggam tanganmu, dengan tatapan bahagia menyambut cintamu. Ku kecup punggung tanganmu saat itu yang ku bisa lakukan.
 “Aku juga mencintaimu. Bahkan sebelum hujan ini datang. Sejak dulu, duluuu… sekali!” Dan kau pun tersenyum mendengar ucapanku.
Hujan menjadi romantisme yang  begitu indah saat itu, bahagia yang kita rasa tiada mampu terjabarkan. Aku hanya tahu, hujan itu menjadi satu anugerah terbaik yang akan menjadi satu kenangan terindah tentang kita berdua. Lalu kau mundur beberapa langkah kebelakang, masih menatap diriku lekat-lekat dengan senyuman terkembang. Kau tengadahkan kepala menatap langit dengan tangan terbentang serasa memeluk setiap tetes hujan yang jatuh. Dan memutar tubuhmu perlahan-lahan, lalu semakin cepat dan cepat sekali. Aku menangkap bahagia yang kau lepas dalam memeluk hujan itu, aku tak kuasa untuk tidak berlari menghampirimu. Dan melompat menerjang dirimu, yang dengan sigap kau tangkap tubuhku. Lalu kitapun bersama-sama tertawa, menari berputar dalam bahagia memeluk hujan.
 “AKU CINTA KAMUUUU….!!” teriakmu.
 “AKU JUGA CINTA KAMUUU…!!” teriak ku juga kemudian.
Hujan terbaik yang pernah hadir dalam kehidupanku, dan menjadi yang terbaik dalam seluruh cerita hidupku. Hari itu cinta telah mempersatukan kita, setelah sekian lama aku menunggu dirimu untuk bisa mengusir semua ketakutan dan rasa sakit yang kau rasa. Aku tahu selama ini cinta itu ada untukku, namun ketakutan dan rasa sakit telah membuatmu ragu dalam banyak hal. Sampai saat hari itu, kau menerjang hujan dan berdiri di depan rumahku dan mengucapkan kata cinta itu untukku. Seketika semua harapan, doa dan mimpiku telah terjawab. Penantian yang tak  sia-sia, aku mencintaimu…
Ketika Hujan hanya menyisakan sedikit tetesan air, kita duduk berdua saling berpelukan. Mencari hangat dalam dingin yang tak ingin kita usir.
 “Biar, biarlah begini adanya. Aku merasakan kehangatan di dalam diriku karena cinta ini. Dan kehangatan berlebih karena dirimu yang kini ada bersamaku” Itu yang kau ucap sebelum kau melepas satu ciuman ke bibirku.
Kita tenggelam dalam desah nafas yang juga terasa hangat. Tak ada cela yang terjadi saat itu, bahkan pelangi yang kemudian hadir. Menjadi satu penjabaran atas semua warna hati yang kita rasa saat itu. Sampai senja datang, sampai malam pada akhirnya menampakan wujudnya, sampai gelap yang kembali tersingkirkan oleh sang mentari. Kau dan aku satu dalam pelukan hangat yang tak pernah kita ingin untuk melepaskannya.
….
Namun hujan pula yang kemudian menghancurkan semua. Hujan juga yang telah merenggut paksa dirimu dari sisiku dalam sekejap. Menghancurkan kebahagiaan yang baru saja sampai pada pucak tertinggi. Ketika kesatuan yang suci tersaksi dalam sumpah janji sebuah seremoni yang sakral. Aku dan kamu menjadi kesatuan yang utuh. Kebahagiaan sepenuhnya milik kita, yang juga kita bagi dengan mereka, orang terdekat kita. Namun semua hilang dalam sekejap, dalam hujan yang turun saat itu.
Awalnya dalam hujan, kita masih melepas semua kebahagiaan dalam peluk cium, dalam desahan yang menghangatkan suasana  yang dingin. Sesekali bercanda,  saling menggoda, saling cubit, saling menggelitik. Dan menjadikan kita yang hanya berdua, menjadi begitu riuh dalam tawa yang lepas. Hujan yang turun bergemuruh, seperti saat pertama kau ucapkan cinta itu. Menjadi bagian yang menjadi alasan dimana aku jatuh dalam pelukan, mengenang nuansa saat itu.
“Aku selalu merindukan hujan setiap saat setelah hujan waktu itu,” ucapku dalam rebah kepalaku di bahumu. Kau berpaling sesaat mendengar apa yang aku ucapkan, lalu kau lepas satu kecupan panjang di keningku.
“Aku mencintaimu…” Berkali-kali kau ucapkan kata itu di setiap kecupan demi kecupan yang kau lepaskan. Dan aku semakin larut dalam kebahagiaan, yang benar-benar ku rasakan telah sampai pada puncak tertinggi.
Malam nanti, akan aku persembahkan semua milikku seutuhnya, hanya untuk dirimu. Kepadamu saja untuk pertama kali aku persembahkan diri ini dalam kesuciannya yang terjaga. Hanya kepada kamu. Dalam Hujan itu, kita tengah menuju tempat dimana kita akan berbulan madu. Dimana dalam waktu yang ada kita akan habiskan waktu dalam cumbu dan desahan, melepas semua rasa yang ada, yang lama tertahan. Tanpa henti, tanpa lelah, sebagaimana gelora cinta ini selalu ada setiap saat kita bersama.
Namun Hujan telah merenggut kebahagiaan itu seketika, merenggut dirimu jauh dari pelukanku, dari kehadiran yang nyata dalam hidupku. Dalam Hujan itu, dalam perjalanan itu. Mobil kita terbalik, jatuh berguling-guling, dan terpelosok dalam jurang. Dan sejak saat itu, semua kebahagiaan itu dirampas seketika dari diriku, sebagaimana juga kamu.
Kini semua terasa hampa, gelap dan yang ada hanya kerinduan di hati. Tanpa bisa lagi aku sentuh wajahmu, atau menatap indah matamu. Tak bisa lagi aku peluk tubuhmu mencari kehangatan yang hadir dalam hujan.  Semua hilang, dan kini aku hanya bisa merasan dingin yang hujan hadirkan, mendengar setiap tetesan air yang jatuh ke tanah. Yang aku resapi semua dalam Rindu dan juga kebencian…
Dan dalam hujan, aku selalu bisa mendengar suaramu dan merasakan kehadiranmu di sisiku. Mungkin inilah arti kehidupan sesungguhnya, selalu ada dua sisi yang tak bisa terpisahkan dari setiap peristiwa. Aku hanya bisa diam memaknai semua tentang hujan setiap kali dia datang.
..
Hmm, jadi begitu, Im?,” Awank mencoba menegaskan apa yang baru saja di ceritakan Baim sahabatnya.
“ Iya, Wank. Sejak kecelakaan itu, Kintan koma di rumah sakit ini. Tanpa mampu merespon apapun yang ada di sekelilingnya. Kecuali saat hujan seperti ini. Seolah dia mendengar hujan itu. Aku bisa mengetahui dari gerak bola matanya,” cerita Baim  dengan nada penuh kerinduan akan sosok istrinya, Kintan.
Dalam hujan yang turun, Baim dan sahahabatnya Awank, berdiri di sisi sebuah ranjang. Dimana tergeletak tubuh Kintan, dengan semua alat medis yang menopang kehidupannya sekarang. Dalam terpejam, bola matanya terlihat bergerak-gerak memaknai hujan yang turun saat itu.



Text Widget